PERBANDINGAN PENDIDIKAN (JEPANG Vs
AMERIKA)
1.
Perbandingan sistem pendidikan tradisional dengan modern
(Kajian Sistem Pendidikan di Negara Jepang dan
Amerika)
Jepang membuat kejutan
baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan.
Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana
sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat,
motivasi dan watak yang "pas" bagi pembangunan. Sebagai suatu
masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para
ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi
sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang
bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada
tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu
Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut.
Team Amerika
Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di
kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret sistem
pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh
Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang
diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di
samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir secara internasional
ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain
lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, penelitian ini
mempertebal keyakinan para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan
peran yang penting dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada
dua puluh lima tahun terakhir ini.
A. Antara
Menghafal dan Berfikir
Dimana letak kehebatan
sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa.
Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori
pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan
tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan
kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah
swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi
pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus
ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya
kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment
khusus untuk murid yang tertinggal.
Sekolah menekankan pada
diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat
sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang
"kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik". Di fihak lain,
sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas
fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut
dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada
prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak
ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa "menikmati"
enaknya sekolah.
Sebab dari waktu ke waktu
anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian.
Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam
berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan
anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas
ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan
serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada
sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas
individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat.
Dibalik sistem pendidikan
di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut
dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah
menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah
lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua,
sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik
dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan,
memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi,
lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru.
Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk
mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat,
status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan
pekerjaan guru mempunyai daya tarik.
Di fihak lain, pendidikan
di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai
kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional
yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang
berjudul "A Place called school" ternyata
menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5
% dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar
waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu
untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan
dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya
berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli.
B. Kiblat Pendidikan
Membaca laporan kedua team
di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru, yakni
bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan
budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang
pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang
budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang
dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan
"proses", dengan metode pengajaran yang disebut "Inquiry Teaching
Method". Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical
thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa
diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut
adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk
mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini
yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan
menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi
yang diperlukan. Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar
kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan
pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada
suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan "Apakah
tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara mengajarkan
dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode baru yang
masih sangat asing ?" Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya Amerika
Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan
mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya
Indonesia.
2.
Konsep Pendidikan Desentralisasi, dan De-Berlinisasi
Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia,
adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya
dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan
siswa mencapai skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan
melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat
menentukan gerak laju pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya,
hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan
pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
A. Desentralisasi
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Amerika Serikat, Friedman
ekonom yang pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi Reagan menyarankan agar
sekolah-sekolah negeri dihapuskan sebab sumber dari rendahnya mutu pendidikan
pada dasarnya adalah sekolah negeri itu sendiri yang keberadaannya sangat
tergantung kepada anggota Pemerintah sehingga motivasi untuk mencapai prestasi
pendidikan pada sekolah-sekolah negeri tersebut rendahnya. Sebagai ganti sistem
sekolah negeri, pemerintah mengembangkan sistem "voucher", yakni
pemerintah memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan
voucher, dimana pemegang voucher dapat memilih sekolah yang diinginkan. Sekolah
pada gilirannya akan menukar voucher dengan uang kepada pemerintah. Dengan
system voucher ini akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sekolah
yang bermutu tinggi akan banyak mendapatkan uang. Dan sebaliknya sekolah yang
bermutu rendah akan miskin muridnya, miskin voucher yang berarti miskin uang.
Lebih lanjut, karena sebagian besar keuangan sekolah bersumber dari voucher
ini, maka sekolah yang tidak laku akan gulung tikar secara alamiah. Sekolah
yang bisa terus hidup adalah sekolah yang bermutu tinggi. Sudah barang tentu
sebagai ekonom yang terkenal berpandangan liberal, ide Friedman tentang voucher
ini bersumberkan dari ide "free fight competition".
Dari ide voucher ini nampak jelas bahwa sekolah harus diorganisir dengan
desentralisasi, malahan sangat ekstrim, masing-masing sekolah mempunyai
kemandirian dalam melaksanakan pendidikan.
Ide yang berkembang di Sovyet pada
hakekatnya tidak jauh dengan ide Friedman di atas. Untuk meningkatkan pembangunan
masyarakat sosialis di Uni Sovyet sistem pendidikan negara yang bersangkutan
diusulkan untuk diperbaharui. Yegor Ligachev, orang nomor dua di Sovyet setelah
Mikhail Gorbachev, menilai bahwa mutu pendidikan di negara "beruang
merah" tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang
ada. Artinya, sistem pendidikan yang ada tidak bisa lagi berperan secara
maksimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karenanya, Ligachev mengusulkan
terdapat usaha yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tetapi, boleh juga dipertanyakan, betulkah adanya desentralisasi
akan meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita? Tidaklah mudah menjawab
pertanyaan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi
memerlukan pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan
berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistem pendidikan sentralisasi yang
cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat di
atas tidak banyak. pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan instruksi,
juklak dan dan juknis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentralisasi
setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandegan dalam dunia
pendidikan. Kedua, desentratisasi mungkin bisa untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan anak atas mata pelajaran yang
diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh skore tes, tetapi desentralisasi belum
merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal effisiensi, dalam arti lulusan
sekotah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
B. De-berlinisasi
Apabila disebut Berlin, maka gambaran yang ada pada benak kita
adalah hadirnya suatu tembok yang kokoh dan kuat yang berada di Jerman. Tembok
tersebut betul-betul memisahkan Berlin bagian barat dan Berlin bagian timur
secara total. Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok Berlin tersebut muncul
dan memisahkan "dunia pendidikan''.di satu fihak dan "dunia
kerja" di fihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya
kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya, hubungan antara dunia
pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi di dunia kerja
tidak bisa cepat disadap oleh dunia pendidikan. Akibatnya, apa yang dihasilkan
dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Dan, adanya
pengangguran bersamaan kekurangan tenaga kerja di dunia kerja tidak bisa
dielakkan lagi.
Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan
atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab
desentralisasi hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti
meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja.
De-berlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan
untuk mendapatkan sesuatu yang riil dari dunia kerja, sebaliknya orang-orang dari
dunia kerja bisa mendapatkan informasi- informasi dari dunia pendidikan yang
dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Pelaksanaan
deberlinisasi dalam ujud konkret dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan
yang luas dan mudah orang-orang dari dunia pendidikan untuk praktek kerja,
observasi dan magang di dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari
dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum, pendidikan, bahkan sudah
masanya mereka ini diundang masuk ke dunia pendidikan. Hal ini dapat dilakukan
di mana dunia kerja menyumbangkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk pada
waktu tertentu menjadi staf pengajar luar biasa di lembaga pendidikan.
Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang
disampaikan sangat menarik sehingga meningkat aspek kognitif mahasiswa atau
siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan membawa semangat dan
mentalitas dunia kerja ke dalam dunia pendidikan.
Nampaknya usaha peningkatan kualitas
pendidikan sangat besar perannya bagi peningkatan pembangunan bangsa. Dan
peningkatan kualitas tidak cukup hanya dengan kebijaksanaan desentralisasi di
bidang pendidikan, tetapi harus juga diiringi dengan penjebolan tembok pemisah
antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
3.
Restrukturisasi Pendidikan
Pada hakekatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang
tengah kita laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir di
Amerika Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar
siswa menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan.
Struktur dan mekanisme praktik pendidikan tersebut dalam implementasinya di
negara-negara sedang berkembang menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak
sensitive terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya
perkembangan dunia kerja. Seperti, pendidikan mengabaikan ide-ide baru tentang
peran pendidikan dalam masyarakat yang berubah atau era globalisasi sistem
pendidikan mengabaikan hakekat peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik tertentu, pendidikan mengabaikan adanya kecenderungan
perkembangan demokrasi dari demokrasi formal ke arah demokrasi substansial.
Ditinjau berdasarkan paradigma pendidikan: lnput-Proses-Output,
struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang dilaksanakan tersebut terlalu
menekankan aspek proses. Hal ini tidak aneh karena pengambil kebijaksanaan
mendasarkan pada premis bahwa kalau proses berjalan dengan baik secara otomatis
akan menghasilkan output yang berkualitas. Oleh karena itu, kebijaksanaan
yang diputuskan adalah mengatur proses dengan mengembangkan kebijakan agar para
guru dapat dan harus melaksanakan perilaku sebagaimana yang telah ditentukan
sehingga proses dapat berjalan sebagaimana yang telah dirancang dan diyakini
akan menghasilkan output yang berkualitas. Para pengambil kebijaksanaan
tidak pernah membayangkan atau tidak mau tahu bahwa proses pendidikan tidak
dapat diseragamkan. Terlalu banyak variasi yang tidak memungkinkan seragamisasi
proses pendidikan tersebut.
A. “Teaching
Vs Learning”
Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang terlalu menekankan
pada proses melahirkan proses pendidikan lebih sebagai "proses pengajaran
oleh guru" (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya
sebagai "proses pembelajaran oleh murid" (student learning).
Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana
"petunjuk dari atas", terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku
tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan
di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut karena suatu
"perintah" atasan. Oleh karena itu, muncullah robot- robot yang
mengajarkan di kelas (robotic teacher). Konsekuensi lebih lanjut adalah
muncul iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang tidak
demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis dan beku serta
menimbulkan efek destruktif pada "keingintahuan, kepercayaan diri,
kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect" di kalangan
peserta didik. Sudah barang tentu struktur dan mekanisme praktik pendidikan
sebagaimana tersebut di atas tidak akan sanggup menghadapi masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan
tunututan yang perlu segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara
maksimal dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional, di masa kini dan di
masa mendatang.
C. Kebebasan dan Otonomi
Restrukturisasi dan deregulasi pendidikan yang diperlukan adalah
mencakup empat aspek: a). Orientasi pembelajaran siswa, b). Profesionalitas
guru, c). Accountability sekolah, dan d). Partisipasi orang tua peserta didik
dan masyarakat sekitar dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari paradigma
pendidikan, Input-Proses-Output, tiga aspek pertama menyangkut aspek input
dan aspek keempat menyangkut output. Dengan demikian, restrukturisasi
dan deregulasi pendidikan lebih mengarah pada pembenahan aspek input daripada
aspek proses. Secara spesifik restrukturisasi dan deregulasi pendidikan
ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kompetensi guru dan murid untuk
mencapai prestasi setinggi mungkin.
Komitmen dan kompetensi guru diharapkan terutama adalah bahwa guru
harus memiliki pemahaman yang mendalam atas materi yang akan disampaikan (Depth
of Understanding) dan mampu menyampaikan materi dengan penuh
kreatifitas dan improvisasi yang orisinil, sehingga proses belajar mengajar
terasa segar dan alami (authentic learning).
Sudah barang tentu komitmen dan kompetensi guru semacam itu banyak
dipengaruhi proses yang terjadi pada pre-service training pada lembaga
pendidikan guru. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu dikembangkan pada pasca
proses pendidikan guru adalah mengembangkan kemandirian guru dan memberikan
otonomi serta kebebasan yang lebih luas pada sekolah dan guru. Sebagai pekerja
profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya,
guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. lnstruksi,
pengarahan, dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin.
Kalau guru mendapatkan otonomi dan kepercayaan penuh mereka akan
memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam mencapai keberhasilan
pendidikan. Demikian juga, otonomi ini akan memungkinkan guru mempergunakan
kemampuan dan pengalaman profesional yang mereka miliki secara penuh dalam
proses belajar mengajar. Dengan otonomi dan kebebasan dalam menjalankan proses
pembelajaran (learning process), guru akan lebih berhasil dibandingkan
kalau guru hanya terpaku pada petunjuk dan pengerahan teknik dari birokrat
kantoran (the office level bereucrat) yang dalam banyak hal tidak
praktis dan terlalu teoritis. Demikian pula dengan adanya otonomi dan kebebasan
yang dimiliki sekolah, guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk merencanakan
kerja sama di sekolah, mengarahkan peserta didik agar lebih banyak individual
atau kelompok kecil dibandingkan dalam proses belajar mengajar kelompok besar
dan dari itu sekolah akan dapat diciptakan sebagai dunianya peserta didik
sendiri.
D. Partisipasi
Masyarakat
Dibalik otonomi dan kebebasan yang dimiliki, kepada guru diberikan
target yang harus dicapai sebagai standar keberhasilan. Sudah barang tentu
target tersebut adalah keberhasilan untuk semua peserta didik tanpa membedakan
latar belakang sosial ekonomi yang dimiliki, mencapai prestasi pada tingkat
tertentu. Target bisa dikembangkan pada berbagai skop sekolah. Dengan adanya
target sebagai standar, masyarakat bisa ikut mengevaluasi seberapa jauh
keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan.
Terbukanya kesempatan bagi masyarakat dan orangtua peserta didik
untuk mengevaluasi proses pendidikan, memungkinkan munculnya partisipasi
masyarakat sekitar dan khususnya orangtua peserta didik dalam menyelenggarakan
pendidikan. Misalnya, sekolah bisa mengundang orangtua dan masyarakat sekitar
untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan operasionalisasi kegiatan
sekolah. Orangtua dan masyarakat sekitar yang mampu bisa diajak untuk
berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, pada level makro,
secara nasional bisa dilaksanakan realokasi anggaran pembangunan pendidikan.
Anggaran pendidikan pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada
sekolah-sekolah yang memiliki peserta didik dengan latar belakang yang kurang
mampu. Sedangkan bagi sekolah-sekolah yang peserta didiknya terdiri dari
orangtua berlatar belakang sosial ekonomi relatif kaya, diharapkan bisa self-supporting
dalam pembiayaan sekolah.
Bahkan tidak hanya masyarakat sekitar, karena target dan standar
yang harus memiliki skop regional dan daerah, maka pemerintah daerah akan
secara langsung terlibat dalam menyukseskan pendidikan di wilayah
masing-masing. Diharapkan pemerintah setempat bisa mengeluarkan berbagai
kebijakan yang mendukung pencapaian target pendidikan tersebut. Misalnya, pemerintah
kelurahan menetapkan "jam belajar" bagi anak usia tertentu. Pada
jam-jam tersebut anak-anak tidak boleh bermain. Dengan kata lain pelayanan
kemasyarakatan perlu dikaitkan dengan proses pendidikan.
Kepada setiap sekolah dan guru diberikan kebebasan apa yang harus
dilakukan dalam proses pembelajaran. Yang penting adalah pencapaian target yang
telah ditentukan, dengan kata lain proses pendidikan bersifat product oriented,
berlawanan process oriented, yang dilakukan sekarang ini. Untuk
mencapai target yang telah ditentukan kepada guru perlu diberikan insentif dan
sekaligus sanksi. Insentif diberikan kepada guru yang berhasil melampaui target
yang telah ditentukan. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada guru yang melakukan
tindak kecurangan, misalnya mengubah, menambah atau memalsu nilai hasil
pembelajaran peserta didik.
4.
Paradigma Baru Pengajaran
Selama masih ada kesenjangan antara hasil
pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi
yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung
tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang
dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic.
Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan
dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis
dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak
bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan
sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha
memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak
dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain.
Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu
kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri.
interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di
kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok
dalam pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan
kualitas pendidikan hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar
mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan.
A. Paradigma
ilmu keguruan
Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan
secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut
sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu
kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan
apa dan siapa murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi
pengajaran itu?, ke mana anak akan dibawa?, apa indikator keberhasilan anak
didik? bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut?
Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita,
memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa, memiliki
pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid, anak
didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan keterampilan,
dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada
agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang
penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan
dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam kurikulum atau sudah
dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan pembahasan materi
sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan dengan
realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi
pelajaran terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar
mengajar yang penting tidak saja anak didik memiliki kemampuan, pengetahuan,
keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana anak didik
mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut.
Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan
kurikulum atau sekolah pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, merupakan program-program yang didesain dengan acuan
paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program pembaharuan pendidikan
yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa?
Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa
panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan
tidak direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil penelitian
yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya
program pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah
dievaluasi tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang
lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di
tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan
yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk
memecahkan problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure
of Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan
selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya
"krisis", di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti
dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan
mempertanyakan dan mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan
interaksi murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema
pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya
diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung
dalam keguruan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma
baru.
B. Paradigma
baru pengajaran
Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana
di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan metode mengajar cara
belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai kebalikan dari cara
mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara mengajar guru aktif).
Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru.
Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai
subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau
keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh
pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang
dikemukakan oleh guru masih bersifat "hypothetical". Oleh karena itu
murid perlu menguji kebenaran apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar
guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan
guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi
siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut
di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang
prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur mencapai 33,88
sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata NEM hanya
mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sekarang ini sudah
di SMP mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a) di kelas mereka aktif baik dalam
mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung
apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa bekerjasama dengan membuat
kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani
menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima
gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki
kepercayaan diri yang besar.
Melihat kehidupan sekolah dasar di Cianjur betul-betul melihat dunia
anak : dinamis, aktif dan gembira. Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat
menakutkan ataupun menjemukan. Dari sekolah dasar semacam inilah akan dapat
diharapkan munculnya pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi masalahnya,
bagaimana pembaharuan di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan
di seluruh Indonesia? Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA
memerlukan perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di
fihak guru dituntut untuk memiliki "Duit" (Dedikasi yang lebih
tinggi, Usaha yang lebih keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan proses
belajar-mengajar dengan CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan
bahan pelajaran, merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan
evaluasi dan tindak lanjut. Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di
mana secara ekonomis tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan disiminasi
proses belajar mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah air merupakan
jembatan menuju revolusi ilmu keguruan.
5.
Agenda Reformasi Pendidikan
Sejarah perkembangan ekonomi di banyak negara industri telah
membuktikan tesis human investment, pentingnya peran kualitas
sumber daya manusia dalam pembangunan. Berdasarkan tesis tersebut telah muncul
strategi pembangunan yang dikenal dengan istilah human-reseources based
economic development, yang telah dipraktekkan dan mengantar
negara-negara, seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapore menjadi negara-negara
industri baru.
Dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memegang
peran yang penting. Sumber daya manusia yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan bangsa hanya akan lahir dari sistem pendidikan
yang berdasarkan filosofis bangsa itu sendiri. Sistem
pendidikan cangkokan dari luar tidak akan mampu memecahkan problem yang
dihadapi bangsa sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk melahirkan suatu
sistem pendidikan nasional yang berwajah Indonesia dan berdasarkan Pancasila
harus terus dilaksanakan dan semangat untuk itu harus terus menerus
diperbaharui.
Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini
dan di masa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan
kita dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas
sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif,
efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan
bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.
A. Kecenderungan
Globalisasi
Proses globalisasi akan terus merebak. Tidak ada satu wilayahpun
yang dapat menghindari dari kecenderungan perubahan yang bersifat global
tersebut, dengan segala berkah, problem dan tantangan-tantangan yang
menyertainya. Pembangunan pendidikan harus mengantisipasi
kecenderungan-kecenderungan global yang akan terjadi. Beberapa kecenderungan
global yang perlu untuk diantisipasi oleh dunia pendidikan antara lain adalah:
Pertama, proses investasi dan re-investasi yang terjadi di dunia industri
berlangsung sangat cepat, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang
sangat cepat pula pada organisasi kerja, struktur pekerjaan, struktur jabatan
dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya, praktek pendidikan
tradisional berubah sangat lambat, akibatnya mismacth education and
employment cenderung semakin membesar.
Kedua, perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang semakin
cepat akan melahirkan "knowledge worker" yang semakin besar
jumlahnya. Knowledge worker ini adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan
information processing.
Ketiga, berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul
kecenderungan bahwa pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the
forward to future basics, yang mengandalkan pada
peningkatan kemampuan TLC (how to think, how to learn and how to create). How
to think menekankan pada pengembangan critical thinking, how
to learn menekankan pada kemampuan untuk bisa secara terus menerus dan
mandiri menguasai dan mengolah informasi, dan how to create menekankan
pada pengembangan kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang
berbeda-beda.
Keempat, berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat
substansi, yang antara lain dalam dunia pendidikan akan terwujud dalam
munculnya tuntutan pelaksanaan school based management dan site-specific
solution. Seiring dengan itu, karena kreatifitas guru, maka akan
bermunculan berbagai bentuk praktek pendidikan yang berbeda satu dengan yang
lain, yang kesemuanya untuk menuju pendidikan yang produktif, efisien, relevan
dan berkualitas.
Kelima, semua bangsa akan menghadapi krisis
demi krisis yang tidak hanya dapat dianalisis dengan metode sebab-akibat yang
sederhana, tetapi memerlukan analisis system yang saling bergantungan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas menuntut kualitas
sumber daya manusia yang berbeda dengan kualitas yang ada dewasa ini. Muncul
pertanyaan mampukah praktek pendidikan kita menghasilkan lulusan dengan
kualitas yang memadai untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan di atas?
B. Praktek
pendidikan dewasa ini
Orientasi pendidikan suatu bangsa akan menunjukkan bagaimana praktek
pendidikan berlangsung, dan pada tahap berikutnya akan dapat dijadikan dasar
untuk meramalkan kualitas lulusan yang ditelorkan oleh praktek pendidikan
tersebut. Setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan empat dimensi
yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru, dimensi materi
pengajaran dan dimensi manajemen pendidikan. Masing-masing dimensi mempunyai
dua kutub ekstrim yang terentang secara kontinyu.
Dimensi status anak didik terentang dari anak didik berstatus
sebagai obyek atau klien dan anak didik berstatus sebagai subyek atau sebagai
warga dalam pendidikan. Dimensi orientasi pendidikan kedua adalah fungsi guru.
Dimensi ini terentang dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas
tertinggi keilmuan dan indoktrinator sampai pada kutub lain guru sebagai
fasilitator dan motivator dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah
materi pendidikan, yang memiliki rentang dari materi bersifat materi oriented
atau subject oriented sampai problem oriented.
Dimensi keempat, manajemen pendidikan terentang dari manajemen yang bersifat
sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau school-based
management.
Orientasi pendidikan kita cenderung memperlakukan peserta didik
berstatus sebagai obyek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas
tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented,
manajemen bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan
tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan
yang riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan
dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan
inteiektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu
kesatuan yang utuh dan berkepribadian. Proses belajar mengajar didominasi
dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin
guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik
harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan.
Akibat dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai
kesenjangan yang antara lain berupa-kesenjangan akademik, kesenjangan
okupasional dan kesenjangan kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa
ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari. Hal ini disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa
ini berada pada masa transisi yang berlangsung dengan cepat, dan tetap
memandang sekolah sebagai suatu insitusi yang berdiri sendiri yang bukan
merupakan bagian dari masyarakatnya yang tengah berubah. Di samping itu,
praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan
kurikulum secara erratic. Ditambah lagi, banyak guru yang tidak mampu
mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi
masyarakat. Akibatnya guru terus terpaku pada pemikiran yang sempit.
Terbatasnya wawasan para guru dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul di
tengah-tengah masyarakat menyebabkan mereka kurang tepat dan kurang peka dalam
mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka
kehilangan gambaran peta pendidikan & kemasyarakatan secara komprehensif.
Kesenjangan okupasional, kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja,
memang bukanlah sernata-mata disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri.
Melainkan, juga ada faktor yang datang dari dunia kerja. Sedangkan, kesenjangan
kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami
persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa
depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu
memberikan kesadaran kultural-historis kepada peserta didik.
Peserta didik kita tidak memiliki historical-roots
dan culturalroot dari berbagai persoalan yang dihadapi. John Simmon dalam bukunya Better Schools
sudah memprediksi bahwa hasil pendidikan tradisional semacam itu hanya akan
melahirkan lulusan yang hanya pantas jadi pengikut bukannya jadi pemimpin.
Jenis kerja yang mereka pilih adalah kerja yang sifatnya rutin dan formal,
bukannya kerja yang memerlukan inisiatif, kreatifitas dan entrepreneurship.
Sudah barang tentu dengan kualitas dasar sumber daya manusia
tersebut di atas, bangsa Indonesia sulit untuk dapat menghadapi
tantangan-tantangan yang muncul sebagai akibat adanya kecenderungan global.
C. Reformasi
pendidikan suatu keharusan?
Reformasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan
kemampuan guru dan murid untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana
diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan
struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan
tersebut di atas. Oleh karena itu, reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga
aspek dalam pendidikan: aspek organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan
guru dan aspek interaksi sekolah dan masyarakat.
Dominasi birokrasi dan kontrol politik yang berlebih-lebihan dari
pusat atas sekolah dan proses belajar-mengajar melahirkan organisasi dan kultur
sekolah yang tidak mendukung proses pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan
yang berkualitas. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis
cenderung menimbulkan rigiditas dalam proses pendidikan, karena pendidikan
diperlakukan secara klasikal dan mekanistis sebagai suatu industri yang bisa
dilaksanakan dengan instruksi dari pusat. Birokrasi dan sentralisasi dalam
pendidikan telah menimbulkan kultur birokratis di lingkungan sekolah. Kepala
sekolah lebih setia berkorban bagi pejabat atasannya dari pada memperjuangkan
nasib para guru. Demikian pula guru lebih patuh mengikuti pendapat kepala
sekolah dari pada memperjuangkan nasib peserta didiknya. Organisasi sekolah
yang bersifat birokratis sentralistis dan kultur sekolah
otoriter birokratis telah gagal melaksanakan transmisi
pengetahuan, sikap dan pola pikir peserta didik untuk mengantisipasi baik dalam
dunia kerja maupun dalam dunia perguruan tinggi.
Oleh karena itu, organisasi sekolah perlu direformasikan ke dalam
organisasi sekolah yang mendasarkan school-based management atau site-specific
solutions agar muncul berkembangnya budaya dialog profesional di
lingkungan sekolah-sekolah.
Organisasi sekolah yang berwajah lokal
dalam kegiatannya senderung senantiasa mendasarkan pada consensus lewat dialog
dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan kepala sekolah
yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah perlu diganti dengan kepala sekolah
yang mungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan
politik. Kerja kepala sekolah beserta staf administrasi merupakan tim yang
demokratis jika orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai
anggota bukan sebagai klien. Guru akan dapat mengajar dengan lebih baik dan
peserta didik akan dapat belajar di sekolah lebih baik pula apabila kepala
sekolah bertindak sebagai seorang pemimpin pendidik daripada sebagai manajer.
Begitu pula proses belajar-mengajar akan lebih "bergairah dan hidup"
apabila kultur sekolah demokratis dengan mengundang partisipasi dari segenap
warga sekolah.
Organisasi dan kultur sekolah sebagaimana dikemukakan di atas
cenderung mengembangkan kerja guru tidak semata-mata sebagai kerja individu
melainkan sebagai 'kerja tim, yang memiliki berbagai tugas yang harus
dikerjakan bersama. Banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah-sekolah akan dapat
berjalan dengan lebih baik apabila guru-guru diorganisir dalam suatu tim yang
masing-masing anggota memiliki peran yang sederajat, otonom, saling
menghormati, dan saling membantu, dari pada guru diorganisir berdasarkan pada
otoritas yang bersifat hirarkhis. Bentuk kerja tim akan merupakan suatu
keluarga yang satu sama lain memiliki hubungan yang akrab dan masing-masing
saling membantu bekerjasama untuk mencapai keberhasilan bagi kesemuanya. Di
antara anggota keluarga memiliki pemahaman yang mendalam satu sama lain,
sehingga interaksi dan dialog menjadi bersifat alami.
Diibaratkan keluarga yang demokratis, sebagai orang tua guru dilihat
sebagai pemegang dan penjaga nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan
keluarga tersebut, lewat mata pelajaran yang disampaikan dan interaksi dialog.
Interaksi sebagai seorang guru tetap dijaga dalam sekolah yang demokratis. Guru
memiliki kebebasan akademik untuk mencari dan mengkaji pengetahuan yang akan
disampaikan kepada peserta didik. Demikian pula, guru sebagai orang tua dalam
keluarga memiliki wewenang untuk menganulir keputusan yang bertentangan dengan
demokrasi.
D. Pekerjaan
dan kondisi guru
Pekerjaan guru dilaksanakan di ruang kelas yang terisolir. Hal ini
membawa konsekuensi meski guru menghadapi peserta didik, tetapi tidak memiliki
kolega, dalam arti kolega yang bisa mengamati dan diajak dialog berkaitan
dengan tugas-tugas pendidikan. Guru hampir menghabiskan seluruh waktunya dengan
peserta didik di ruang-ruang kelas, sehingga interaksi antar guru sangat
minimal dan terbatas. Kurang adanya dialog antar mereka menyebabkan guru
merupakan individu yang harus senantiasa mengisi dan mengembangkan dirinya
sendiri. Apabila antar guru sempat berdialog, mereka jarang membicarakan
persoalan yang dihadapi berkaitan dengan tugas-tugas profesional mereka. Inilah
yang membedakan profesi guru dan profesi yang lain. Kalau dokter ketemu dokter
mereka berdialog tentang penyakit yang melanda suatu daerah atau temuan-temuan
teknik pengobatan baru. Kalau arsitek ketemu arsitek mereka membicarakan
bagaimana teknik bangunan yang mutakhir. Sebaliknya, kalau guru ketemu guru,
mereka berdialog tentang kredit kendaraan mereka atau potangan gaji yang tidak
pernah berhenti. Dengan demikian dapat dikatakan kultur kerja guru bersifat
sangat individualistis dan non collaborative.
Pekerjaan dan kondisi guru erat berkaitan dengan aspek organisasi
dan kultur sekolah. Organisasi dan kultur sekolah memberikan kesempatan bagi
guru untuk berperilaku berbeda dari apa yang sudah ditentukan. Kalau ada guru
yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi peserta didik, akan
dihambat oleh kondisi sekolah. Karena otonomi guru sangat terbatas,
mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi monoton, kaku dan membosankan.
Dengan kata lain, organisasi dan kultur sekolah menimbulkan guru tidak
sepenuhnya memiliki kekuasaan untuk mengelola proses belajar-mengajar. Ditambah
lagi, gaji kecil dan status sosial di masyarakat rendah.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pekerjaan guru tidak
menarik bagi individu-individu yang berbakat dan memiliki otak cemerlang.
Mereka, guru-guru muda yang semula memiliki semangat mengembangkan misi
intelektual setelah beberapa tahun kehilangan semangat dan akhirnya menjadi
guru tanpa inspirasi, berperilaku rutin dan penuh keputusan. Organisasi dan
kultur sekolah cenderung mendorong ke proses pemfosilan intelektual dengan
membunuh kreatifitas intelektual di kalangan guru.
Keadaan sekolah menjadi bertambah buruk karena guru oleh birokrat
kantoran dianggap hanya sebagai pelaksana kurikulum, penjaga peserta didik,
tidak memiliki inspirasi dan kreatifitas dan kemandirian sebagai seorang individu.
Para guru diperlakukan layaknya sebagai robot.
Pekerjaan guru memerlukan kemampuan intelektual dan mempergunakan
emosi. Jika emosi guru terkuras oleh hal-hal yang sesungguhnya bersifat non
akademik, beban pekerjaan administrasi yang menumpuk, kekurangan waktu untuk
mempersiapkan proses belajar mengajar dan ditambah lagi dukungan untuk
memperkuat kemampuan intelektual mereka sangat lemah, maka kecil kemungkinan
proses pendidikan akan menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Kondisi minimal yang diperlukan adalah guru
harus memiliki waktu untuk merencanakan pengajaran, melaksanakan pengajaran,
mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan, memiliki kesempatan untuk mendapatkan
kritik, komentar dan saran-saran baik dari kolega di sekolah atau di luar
sekolah. Di samping itu, guru harus dipandang sebagai individu yang memiliki
tanggung jawab penuh dalam proses belajar mengajar, sebagai individu
yang mampu memikirkan dan melaksanakan apa yang seharusnya
dilakukan untuk kebaikan peserta didik, sebagai individu yang mampu membuat
sesuatu guna meningkatkan kualitas pendidikan.
Apabila sekolah, kepala sekolah dan guru, diberi otonomi yang lebih
besar dalam menjalankan proses pendidikan, mereka akan memiliki rasa tanggung
jawab yang lebih besar. Mereka akan memiliki kebanggaan atas sukses dicapai dan
sebaliknya mereka merasakan kepedihan yang mendalam akan kegagalan yang dialami
peserta didiknya. Hal ini akan menimbulkan komitmen untuk bekerja memberikan
yang terbaik.
Meningkatnya otoritas yang dimiliki guru untuk mengendalikan proses
pendidikan, memungkinkan mereka menggunakan seluruh kemampuan profesional dan
pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaan. Guru tidak harus bekerja dengan
mendasarkan pada petunjuk teknis yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi
yang dalam banyak hal bersifat teoritis, melainkan guru memilik kebebasan untuk
melaksanakan tugas dengan cara yang mereka anggap paling tepat, paling efisien
dan paling baik. Dengan memiliki kesempatan untuk menerapkan teknik-teknik yang
mereka anggap baik akan dapat meningkatkan efisiensi kerja guru. Guru akan
melaksanakan pengajaran yang menekankan pada pemahaman yang bermakna dan
pembelajaran yang otentik (authentic learning) daripada
pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan untuk dihafalkan. Demikian pula
guru dapat diharapkan mengupayakan bahwa apa yang diajarkan dapat difahami oleh
semua murid sehingga keberhasilan untuk semua murid tanpa memandang latar
belakang mereka. Dengan demikian, pemberian otonomi pada sekolah akan dapat
diharapkan meningkatkan kemampuan tehnis guru.
E. Keterkaitan
sekolah dan masyarakat
Sekolah harus selalu mengembangkan kultur yang dapat mendukung
proses belajar mengajar lebih baik. Sayangnya pembaharuan pendidikan yang telah
dilaksanakan selama ini terlalu menekankan pada aspek teknis, fungsional dan
individualistik tanpa menyentuh sedikitpun aspek kultur sekolah ini. Model ini
dipengaruhi oleh ide bahwa sekolah sebagai suatu perusahaan atau industri yang
melayani kebutuhan individu. Oleh karena itu pendidikan semacam itu akan
bersifat fragmented yang satu dengan yang lain terpisah tidak ada
kesatuan, dan melihat sekolah sebagai sesuatu yang berdiri sendiri bukan
merupakan bagian dari masyarakat sekitar. Akibatnya, hubungan dan interaksi
antara sekolah dan masyarakat sekitar tidak pernah terjadi. Hal ini berarti
sekolah telah menelantarkan sumber belajar yang sangat bermanfaat dan bermakna
bagi proses belajar mengajar.
Oleh karena itu, salah satu aspek dalam sekolah yang perlu
direformasi adalah hubungan sosial di antara warga sekolah termasuk orangtua
murid dan masyarakat sekitar. Partisipasi orangtua dan masyarakat dalam
kehidupan sekolah akan merupakan modal pokok dalam proses pendidikan. Sekolah
harus menjadikan dirinya bagian dari kemasyarakatan. Setiap kegiatan sekolah
adalah merupakan kegiatan masyarakat sekitar, sebaliknya setiap kegiatan
masyarakat merupakan kegiatan sekolah.
Hubungan antara sekolah dan masyarakat sekitar ini ditujukan untuk
mencapai dua hal: Pertama, sekolah memiliki komunitas peserta didik yang
berdomisili tidak terlalu jauh dari sekolah. Dengan demikian, akan terjadi
proses rayonisasi berdasarkan domilisi. Dengan adanya rayonisasi fungsional ini
akan menimbulkan sinkronisasi antara kegiatan sekolah dengan kegiatan
kemasyarakatan, sehingga peserta didik bisa belajar dan menyerap kehidupan dari
masyarakatnya. Kedua, dengan adanya rayonisasi fungsional tersebut akan muncul
kaitan emosional antara masyarakat dengan sekolah. Ketiga, adanya kaitan
emosional ini akan mengundang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan
kualitas pendidikan pada urmumnya dan dalam pemberdayaan pendidikan pada
khususnya.
F. Strategi
reformasi
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, reformasi pendidikan yang
dilakukan diarahkan untuk merubah organisasi dan kultur sekolah, pekerjaan guru
dan keterkaitan sekolah dan masyarakat, dengan tujuan untuk mengembangkan
komitmen dan kemampuan guru dan siswa guna mencapai prestasi setinggi mungkin
untuk semua peserta didik, tanpa memandang latar belakang mereka.
Strategi yang perlu dikembangkan dalam proses reformasi adalah:
Pertama, karena luasnya cakupan pendidikan maka reformasi ditekankan pada: a)
masing-masing sekolah memiliki otonomi merencanakan dan melaksanakan proses
pendidikan; b) orangtua dan masyarakat bekerjasama dengan guru untuk kemajuan
peserta didik; c) sekolah harus mengembangkan suatu sistem pelaporan tentang
kemajuan pendidikan yang dengan cepat dan secara periodik dapat dikaji orangtua
dan masyarakat; d) guru harus memiliki kesempatan yang luas untuk merancang
kegiatan dan mengembangkan kerjasama antar kolega guru ataupun dengan orangtua
dan masyarakat sekitar; e) peserta didik harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan kerja kelompok atau kerja individual dan sebaliknya kerja
kelompok kelas dikurangi.
Kedua, reformasi pendidikan memerlukan kesadaran akan berbagai
kemungkinan yang timbul dari kebijakan reformasi tersebut, oleh karena itu,
perlu disediakan "room for manoeuvre" bagi sekolah atau guru.
Hal ini perlu agar kebijakan yang baru tidak terjebak oleh aturan dan prosedur
yang bersifat birokratis. Di samping itu, "room for manoeuvre"
ini diperlukan untuk antisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan, seperti: kurang
adanya guru yang berkuatitas, kualitas guru rendah, fasilitas yang tidak
memadai, dan sebagainya.
Ketiga, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan produk bukan
pendekatan proses. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana
masing-masing sekolah bisa meningkatkan dan mencapai sepenuhnya tergantung
kebijakan masing-masing sekolah. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan dan
menentukan: a) standar pendidikan yang harus dicapai, b) insentif terutama
tidak jujur dalam masalah akademik dan, c) melibatkan aparat birokrasi
propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan untuk mendukung keberhasilan
pencapaian target dari sekolah yang ada di wilayahnya masing-masing.
Keempat, di masing-masing sekolah diminta untuk mengembangkan gugus
kendali mutu yang secara terus menerus mencari mode-model dan teknik-teknik
yang paling efisien dan produktif dalam kegiatan proses belajar mengajar.
G. Meningkatkan
peran masyarakat
Rendahnya mutu lulusan ini dikaitkan dengan
rendahnya kualitas IKIP Pengkaitan rendahnya lulusan SMU dengan rendahnya
kualitas IKIP tidaklah salah. Namun, perlulah difahami bahwa kualitas lulusan
SMU tidak lepas dari kualitas lulusan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan bahkan pula kualitas lulusan sekolah
dasar.
Usaha meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat manapun juga akan
sulit terlaksana, apabila kualitas pendidikan yang lebih rendah tidak
ditingkatkan mutunya. Oleh karenanya, peningkatan kualitas pendidikan di
tingkat dasar merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk meningkatkan mutu
lulusan SMU.
Dalam mengembangkan pendidikan tingkat dasar, terdapat beberapa
problem yang perlu untuk segera mendapatkan perhatian. Problem yang dimaksud
antara lain yang menyangkut infernal inefficiency, yang dapat diamati
dalam ujud konkret berupa besarnya angka drop-out dan mengulang kelas.
a) Wajib belajar
Drop-out dan ulang kelas pada kelas yang
sama dikategorikan sebagai tanda-tanda penyelenggaraan pendidikan tidak
efisien. Sebab dengan drop-out berarti tujuan pendidikan tidak tercapai,
sedangkan biaya pendidikan terlanjur sudah dikeluarkan. Sedang ulang kelas berarti
perlu ada biaya lipat untuk murid yang sama. Seandainya tidak ada murid yang
mengulang kelas, maka biaya tersebut bisa digunakan untuk murid yang lain.
Mengapa sampai ada drop-out dan ulang kelas. Kebijaksanaan apa yang
diperlukan untuk menghilangkan drop-out dan ulang kelas tersebut.
Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah (drop-out)
pada tingkat sekolah dasar. Antara lain, erat hubungannya dengan keadaan
ekonomi keluarga, yakni anak diperlukan untuk membantu kerja orang tua mencari
nafkah. Alasan ini banyak ditemui di daerah pedesaan. Hal ini erat sekali
kaitannya dengan kehidupan di pedesaan di mana anak sejak dini sudah dilibatkan
dalam pekerjaan yang secara tidak langsung maupun langsung mempengaruhi
pendapatan keluarga.
Pemerintah dan juga masyarakat sudah berusaha memecahkan masalah drop-out
ini dengan berbagai kebijaksanaan dan tindakan yang tepat. Bisa disebutkan
antara lain, sistem wajib belajar untuk anak umur sekolah dasar, dan sistem
orang tua asuh. Hasilnya sudah bisa dilihat. Tahun demi tahun persentase drop-out
menurun.
b) Sebab-sebab ulang
kelas
Berbeda dengan masalah putus sekolah,
masalah ulang kelas masih belum dapat dipecahkan. Hal ini nampak angka ulang
kelas untuk tingkat Sekolah Dasar masih tinggi. Dari tahun ke tahun persentase
angka ulang kelas tidak banyak mengalami perubahan.
Masalah ulang kelas merupakan masalah yang sangat kompleks. Berbagai
faktor terlibat dalam masalah ini. Antara lain, faktor kemampuan murid, faktor
kemampuan guru dan sistem penilaian dan eveluasi yang digunakan guru, dan
faktor sistem pendidikan sendiri. Faktor kemampuan murid sebenarnya erat
kaitannya dengan faktor motivasi murid yang relatif rendah untuk belajar
lebih keras. Hal ini kaitannya dengan kemampuan guru
dalam memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar lebih rajin. Banyak
keluhan yang keluar dari kalangan guru tentang masalah memberi motivasi ini.
Guru tidak saja bertugas memberikan pelajaran, tetapi juga memberikan motivasi
merupakan rangkaian dalam memberikan pelajaran tersebut. Kemampuan mengajar
tanpa diimbangi kemampuan memberi motivasi kepada anak didik, akan cencerung
menjadikan pelajaran dirasakan membosankan bagi para siswa.
c) Usaha mengatasi
ulang kelas
Cara yang paling efektif untuk mengatasi ulang kelas adalah dengan
menghilangkan sistem kenaikan kelas itu sendiri. Anak didik akan otomatis naik
ke kelas di atasnya. Namun sistem ini memerlukan perlakuan khusus bagi anak
yang tertinggal pelajaran. Di samping itu, melaksanakan sistem ini salah-salah
bisa menurunkan kualitas pendidikan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan
orang tua dalam proses pendidikan dan mengembangkan kelompok belajar di
masyarakat.
Faktor orang tua dalam keberhasilan belajar
anak sangat dominan. Banyak penelitian baik di dalam maupun di luar negeri
menemukan kesimpulan tersebut. Faktor orang tua bisa dikategorikan ke dalam dua
variabel: variabel structural dan variabel proses. Yang dapat dikategorikan
variabel struktural antara lain latar belakang status sosial ekonomi,
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua. Sedangkan variabel proses
adalah berupa perilaku orang tua dalam memberikan perhatian dan bantuan kepada
anaknya dalam belajar. Untuk bisa mewujudkan variabel kedua tersebut tidak harus
tergantung pada variabel pertama. Artinya, tidak hanya keluarga
"kaya" atau berpendidikan tinggi bisa menciptakan variabel proses.
Contoh variabel proses antara lain: orang tua menyediakan tempat belajar untuk
anaknya; orang tua mengetahui kemampuan anaknya di mana anak mempunyai nilai
paling bagus; pelajaran apa anak paling tidak bisa; apa kegiatan anak yang
paling banyak dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah; orang tua sering
menanyakan tentang apa yang dipelajari anaknya; orang tua membantu anaknya
dalam belajar.
Seringkali orang beranggapan bahwa hanya "keluarga yang
mampu" bisa memberikan fasilitas anak untuk belajar dengan
"baik". Sesungguhnya pendapat ini tidaklah benar sepenuhnya. Tempat
belajar tidak bisa hanya diartikan semata-mata dalam ujud fisik. Melainkan,
tempat belajar lebih menitik-beratkan pada suasana yang bisa mendukung anak
belajar dengan baik. Misalnya pada jam-jam belajar yang telah ditentukan, tidak
boleh ada Radio atau TV dihidupkan, tidak diperbolehkan siapapun ngobrol.
Bantuan orang tua sangat diperlukan oleh anak, manakala anak
menghadapi kesulitan dalam belajar. Sekolah perlu memberikan informasi kepada
orang tua apa yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam membantu mensukseskan
pendidikan putera-puteranya. Sebaliknya, orang tua harus selalu mendatangi
undangan pertemuan wali murid misalnya. Ataupun, orang tua jangan segan-segan
menemui guru untuk membicarakan hal ihwal anaknya. Alangkah indahnya, khususnya
di daerah pedesaan, kalau sekolah bisa memberikan pedoman tertulis tentang apa
yang harus dilakukan oleh orang tua untuk membantu sekolah anak-anaknya. Dalam
kaitan ini perlu ditingkatkan peran BP3, tidak hanya menangani masalah yang
berkaitan dengan SPP, tetapi juga mempunyai tugas untuk mengembangkan
kerjasama antara sekolah dan orang tua.
Namun, masalahnya tidak semua orang tua bisa membantu anak dalam
belajar. Apalagi kalau anak sudah duduk di kelas 5 atau 6. Dalam kaitan ini,
lembaga pendidikan perlu bekerjasama dengan kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat, misalnya PKK. Kelompok PKK di kampung atau di desa-desa bisa banyak
berperan dalam memberikan pedoman bagaimana yang seharusnya dilakukan, terutama
oleh lbu-ibu dalam membantu belajar anak-anaknya. Kelompok PKK bisa
menyelenggarakan kursus matematika bagi ibu-ibu, misalnya. Ataupun
kursus-kursus yang lain yang bisa digunakan untuk membantu belajar anaknya.
Cara yang kedua untuk mengurangi angka ulang kelas adalah dengan
menyelenggarakan kursus atau pelajaran tambahan. Prestasi anak didik erat
kaitannya dengan kegiatan kursus-kursus atau pelajaran tambahan. Tetapi,
peserta kursus pada umumnya harus membayar, maka hanya murid-murid dari
kalangan keluarga yang kurang mampu tidak bisa membayar biaya kursus untuk anaknya.
Hal ini akan berakibat prestasi anak dari keluarga yang miskin akan semakin
jauh tertinggal dari anak yang "mampu".
Demikian pula, karena kursus-kursus banyak diselenggarakan di
kota-kota, maka prestasi anak di kota akan jauh lebih tinggi dari pada
anak-anak di desa. Dalam kaitan ini perlulah masyarakat menyelenggarakan
kursus-kursus atau pelajaran tambahan untuk beberapa mata pelajaran yang dirasa
sulit. Kembali, kelompok-kelompok kegiatan yang ada di masyarakat bisa
menangani. Misalnya kelompok PKK atau kelompok Pemuda.
Peningkatan kualitas SD dan SLTP
(pendidikan dasar) merupakan kondisi mutlak yang harus diujudkan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Tanggung jawab untuk
meningkatkan mutu tersebut tidak hanya ada pada guru atau sekolah, tetapi juga
ada pada pundak orang tua dan masyarakat. Kerjasama antara guru, orang tua dan
masyarakat akan menentukan keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan dasar.